Selasa, 05 November 2013

Kemunduran Batik Dan Desa Santri



Pernah berpikirkah anda bahwasanya desa yang di sidoarjo terdapat desa yang sangat tua, pada saat itu pernah mengalami peradaban yang maju yakni produksi batik sejak dulu sebelum masa penjajahan. Tapi mengapa pada waktu ini seakan akan desa tersebut seakan-akan bukanlah desa yang memproduksi batik dahulunya.
          Desa kedungcangkring merupakan desa yang terkenal dengan sebutan desa santri, karena dalam desa tersebut sejak dahulu sampai sekarang banyak sekali di temui pondok pesantren dan juga majlis ta’lim yang membahas tentang ilmu-ilmu agama dan juga sudah terkenal di kalangan para peneliti akademisi bahwa desa kedungcankring merupakan desa santri, mengenai jumlah pondok pesantren di daerah tersebut terdapat 4 pondok pesantren, namun perlu di perhatikan dalam satuanya pondok pesantren tersebut terdapat cabang-cabangnya antara lain sebagai berikut:
  • Pondok Pesantren Roudlotul Muta’alimin Muta’alimat
  • Roudlotul Muta’alimin I ( pondok induk )
  • Ar-Roudloh (Muta’alimin II )
  • Darus Salam (Muta’alimin III )
  • Roudlotul Muta’alimat I
  • Roudlotul Muta’alimat II
  • Al-Machfudzoh ( Muta’alimat III )
  • PP.Baitul Hikmah (putra-putri)
  • PP Darun Najah (putra-putri)
  • PP As-Syafi’I (putra-putri)
             Dan juga terdapat beberapa majlis ta’lim sekitar 4, di mana murid atau santrinya merupakan orang kampung itu sendiri atau alumni yang pernah mondok di salah satu pesantren yang telah di sebutkan di atas antara lain:
Al-machfudzoh di mushallah mutaalimin I
  • Ar-Roudloh di Mushallah Ar-Roudloh
  • Al-Hikmah di pondok pesantren Al-Hikmah
  • As-Syafi’I di masjid
  • Dan di mushallah-mushallah
         Hal ini sudah bermula sekitar tahun 1889 masehi, di desa kedungcangkring telah berdirih sebuah majelis ta’lim, di mana pada saat itu masih belum di beri nama atau bahkan masih belum merupakan pemondokan bagi santri yang bermukim hanya saja pada saat itu banyak santri-santri yang berasal dari daerah kedungcangkring sendiri yang jumlahnya saat itu hanya sekitar 25 orang santri. Sementara pondok pesantren masih belum di beri nama, posisi pondok pesantren kyai asfiya’ juga di untungkan oleh posisinya desa kedung cangkring sebagai kampung batik. Konon menurut cerita yang memulai merintis tradisi batik sebagai mata pencaharian sehari-hari masyarakat adalah komunitas tionghoa.
          Perjalanan desa kedung cangkring sebagai kampung batik juga sebagai kota santri hubunganya erat sekali. Mengingat pada waktu itu beberapa juraga batik atau orang kaya di desa tersebut rata-rata adalah pejuang agama, Itulah sekelumit gambaran masyarakat kedung cangkring pada zaman dahulu. Hubungan sinergitas antara ulama dan pengusaha berjalan harmonis, saling melengkapi, saling mengisi bukanlah mempolitisi seperti era belanda. Itulah sebabnya setiap elemen masyarakat, baik ulama, pengusaha maupun masyarakkat biasa duduk istiqomah pada tempatnya masing-masing. Karna ulama pada masa ini tetap istiqomah pada tempatnya sebagai pengayom, pembimbing umat. Harmonisasi demikianlah pada era kyai aruqot sampai kyai chayyun begitu terasa.
         Banyak para kyai-kyai yang alumni dari pondok tersebut seperti kyai sofwan di pamotan porong sidoarjo, kyai shahid pemimpin toriqoh kecamatan paceng dan masih banyak lainya, banyak hubungan santri pondok dan desa kepada para kyai, contoh salah satu sesepuh almarhum kyai ahmad aruqot yang merupakan pendiri pondok pesantren pertama di desa tersebut kehidupanya amat senderhana, misalkan ketika seorang kyai mendidik santri untuk hidup senderhana, dalam hal ini kyai ahmad aruqot biasanya selalu mengeluarkan zakat tijaroh, menjaga makanan hingga yang masuk adalah rizqi yang halal saja atau lagi menurut salah satu kyai yang  merupakan cucu dari kyai ahmad tersebut yaitu kyai muharror setiap kali panen kyai ahmad aruqot tidak langsung memesukan gabahnya kedalam lumbung padi sebelum gabah tersebut di zakati. Jadi setelah gabah-gabah itu terkumpul kemudian di taruh di pintu lumbung padi di teruskan kyai ahmad aruqot mengumpulkan para tetangga atau orang-orang yang wajib menerima zakat, setelah gabah tersebut di zakati barulah gabah-gabah tersebut di masukan kelumbung padi.
Para kyai zaman dahulu seperti kyai ahmad aruqot, kyai chayyun, kyai asif, kyai siroj kholil, gus bakar dan banyak yang lainya, mereka memberi contoh yang baik pada santri dan masyarakat seperti dalam hal keistiqomahanya mereka mengajar atau mutholaah ktab semua warga santri tahu jadwalnya setiap kali mereka pergi kemasjid, pergi thoriqoh, muthola’ah kitab pada jam 23.00-01.00, waktu marung semua warga tahu hampir kebiasaan kyai-kyai yang nyeleneh seperti kyai chayyun apabila tiap pagi atau tiap jalan-jalan ia selalu membawa uang receh koin dan memakai sandal bengkiak yang jadi pada waktu berjalan selalu kedengaran suara nyari koin tersebut dan pada waktu itu juga ada anak-anak kecil mengerubuginya maka di kasihilah si anak semua anak kecil tersebut dan kepada para pengemis yang ia temui di pinggir jalan sampai uang koin itu habis, misal lagi mbah ud wali di sidoarjo dulunya senang datang kekedung cangkring saat di tengah-tengah pengajian, wali tersebut langsung memasuki majlis ta’lim tersebut dan langsung bertatap hadapan muka dengan jarak yang dekat antar si pengajar dengan mbah ud dan mbah ud menggodanya perlu di ketahui mbah ud tidak pernah memakai alas sepatu jadi setiap masuk mushallah atau masjid pun tidak pernah bersuci entah bagaimana hukumnya karena mbah ud ini merupakan waliyullah maka semuanya diam saja.
             Desa kedungcangkring yang dahulunya penuh akan santri utamanya banyak pedagang batik. Namun pada waktu sekarang ini mulai hilang terutama usaha batik di desa tersebut di mana dahulunya desa yang terkenal dengan pembuat batik dan sekarang tidak  dan yang dahulu usaha-usaha batik sekarang hilang dan kalau orang menganggap bahwasanya kalau desa kedungcangkring merupakan kampung kebanyakan orang tidak akan percaya karena kondisi yang mencerminkan tidak adanya usaha batik di desa tersebut.

SEJARAH DESA KEDUNGCANGKRING

Desa kedungcangkring merupakan desa yang sangat tua di daerah perbatasan antara wilayah sidoarjo dengan pasuruan, hal ini terbukti dahulu kala sebelum zaman kemerdekaan atau zaman sebelum penjajahan dulu desa kedung cangkring ini sudah ada dan desa ini biasa di sebut desa pecinan yaitu desa di mana banyak suku pedatang dari cina, gujarat, tionghoa atau dari mongol. Di karenakan dahulunya daerah ini merupakan daerah pesisir banyak kapal pedagang lewat daerah ini atau singgah di daerah ini. Desa  kedung cangkring ini dahulunya merupakan desa pasar batik atau desa pusat batik karena para pedagang asing singgah di sini biasanya selain membeli rempah-rempah juga batik. Adapun batik-batik yang berasal dari lamongan dan blitar atau daerah jawa tengah asalnya dari daerah sini.
          Sebagaimana lazimnya yang terjadi pada masyarakat dahulu, yang menjadikan sungai sebagai media transportasi di mana masyarakat menyebutnya sebagai budaya sungai, dengan kata lain desa kedungcangkring merupakan desa yang sangat tua yang berada di kabupaten sidoarjo.
          Ciri-ciri apakah desa tersebut merupakan desa tua bisa di lihat dari adanya bangunan khas rumah yang masih tersisah atau yang di wariskan kepada anak cucunya, jarak antara rumah yang satu denga rumah yang lainya berdempet-dempetan dan sangat padat di samping itu ada beberapa rumah yang kelihatan umurnya tua motifnya ada yang seperti rumah warga tionghoa

 Rumah Khas Tionghoa
          Menurut masyarakat setempat desa kedung cangkring pada tahu 1960 sempat di sebut dengan kampung pecinan di samping juga di sebut dengan kampung batik karna pada saat itu sebagian masyarakat desa kedung cangkring rasnya keturunan tionghoa, bahkan pada tahun 1919 desa kedungcangkring sudah ramai di kunjungi orang-orang arab yang mau belanja kain batik, mereka pergi kedesa tersebut dengan naik kereta api dan turun di stasiun gempol. Maka sudah tentu kalau desa kedungcangkring pada saat itu sudah ramai akan pengunjung ada komunitas orang jawa, komunitas tionghoa dan juga komunitas arab yang berbelanja batik sampai pada tahun 1990.
 
sungai tempat mencuci batik
ASAL MULA DESA SANTRI
 Berawal dari kyai yang bersejarah dan amat di segani yaitu kyai achmad aruqot, lahir di kedungcangkring sekitar tahun 1885 M dari seorang keluarga yang juga merupakan seorang  kyai. Ayahnya kyai ahmad aruqot adalah seorang kyai yang bernama kyai asfiya’, perintis majlis ta’lim yang konon akan menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren roudlotul banin, sebuah pesantren yang megukir sejarah pendidikan agama serta pembentukan moralitas santri warga masyarakat kedung cangkring.[1][1]
        Ada yang mengatakan wilayah strategis melalui jalur transportasi Kali Brantas (Sungai Porong) menuju Surabaya, Madura, dan Pasuruan, zaman dulu dari turun temurun terus yang melahirkan tokoh dan kiai besar. Sebagian masyarakat menyebut Kedungcangkring sebagai ”Kota Santri”. Beberapa kiai yang lahir di Kedung Cangkring dan terkenal pada zamannya, di antaranya adalah KH Siroj Kholil, mempunyai anak KH A. Rofiq Siroj, kini Rois Suryah PC NU Sidoarjo. Juga ada KH Arruqot, seorang ulama yang cukup terkenal pada zamannya. Mempunyai menantu KH Hayyun, ia mempunyai anak KH Charor, kini pengasuh Pondok Pesantren Arraudloh, dan ada lagi yang merupakan cucu dari KH Arruqot dan sekaligus menantu dari keturunan sunan ampel Surabaya yakni agus shobahus surur  Kedung Cangkring.
      Bahkan, dulu sekitar tahun 1980-an, di Kedung Cangkring ada seorang ulama biasa, tetapi terkenal sebagai ahli istikharoh. Ia adalah Kiai Khusnan, yang akrab disapa Pak Khusnan. Dikatakan ulama biasa, karena sehari-harinya ia bekerja mbatik pada mertuanya, KH Asmuni Umar, H Jamian. KH Asmuni, adalah mantan Ketua PC NU Sidoarjo, sebelum KH Abdy Manaf. Menurut cerita KH Asmuni, sosok Pak Khusnan, selain sehari-hari bekerja sebagai pembatik, ia banyak dimintai tolong masayarakat sekitar untuk mengistikhorohkan sesuatu.
      Sebelum lahir pemikiran KH Ahmad Siddiq tentang perlunya NU kembali ke Khittah 1926, kondisi NU begitu menegangkan. ”Terjadi kebuntuan komunikasi politik yang begitu hebat antara kubu KH Idham Kholid (Ketua Umum PB NU waktu itu), yang menghendaki NU menjadi partai politik dan kubu KH As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Salafiyah Syafiiyah Asembagus, Situbondo) yang menghendaki NU kembali ke khittah. Nah, di tengah-tengah kebuntuhan itulah, KH Mujib Ridwan (Surabaya), anak dari KH Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU), menemui Pak Khusnan, untuk meminta tolong istikhoroh atas persoalan NU yang tidak menentu,” cerita Kiai Asmuni.
         Dalam sejarah desa ini kami memaparkan tentang perpolitikan yang di nuasai dengan ke-NU-an karna kebanyakan masyarakat mengikuti politik NU dan inilah yang sangat melekat pada warga sampai-sampai banyak seragam batik NU yang di buat dari batik asli desa kedungcangkring menurut kebanyakan para warga dan para santri yang tua dahulu.

 PERKEMBANGAN PESANTREN DAN BATIK

Pada sekitar tahun 1889 masehi, di desa kedungcangkring telah berdirih sebuah majelis ta’lim, di mana pada saat itu masih belum di beri nama atau bahkan masih belum merupakan pemondokan bagi santri yang bermukim hanya saja pada saat itu banyak santri-santri yang berasal dari daerah kedungcangkring sendiri yang jumlahnya saat itu hanya sekitar 25 orang santri.
          Pendiri dari pada majlis ta’lim tsb seorang ulama’ bernama  kyai Asyfiyak. Setelah kurang lebih 5 tahun berjalan majelis ta’lim  tsb semakin di kenal, baik oleh pendukung setempat atau orang-orang di luar daerah sehingga dengan demikian banyakah orang-orang muda yang datang kek ked.cangkring guna menuntut ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan agama di majlis ta’lim tersebut. Di antara mereka berasal dari jawa tengah, kudus dan daerah setempat yang kemudian bermukim di kedung cangkring, sehingga dengan demikian terbentuklah sebuah pondok pesantren dengan jumlah santrinya kurang lebih 60 orang. Sementara pondok pesantren masih belum di beri nama, posisi pondok pesantren kyai asfiya’ juga di untungkan oleh posisinya desa kedung cangkring sebagai kampung batik. Konon menurut cerita yang memulai merintis tradisi batik sebagai mata pencaharian sehari-hari masyarakat adalah komunitas tionghoa.
            Santri kyai asfiya’ tidak murni ngaji sebagaimana layaknya pondok pesantren, beberapa orang yang datang ke kedungcangkring mula-mula bekerja sebagai tukang batik kemudian mondok di pesantren yang didirikan kyai asfiya’, setelah mengetahui di kedungcangkring ada pondok pesantren maka sekalian mereka modok di sana. Hingga tahun 1928 perjalanan pondok pesantren belum di beri nama. Pada tahun tersebut putra kyai asfiya’ yang bernama kyai muchyiddin sudah mulai membantu mengajar di pondok pesantren tersebut, paska pulangnya dari pondok pesantren mbah kholil di bangkalan madura hingga setelah menunaikan ibadah haji nama kyai muchyidin di ganti kh.ahmad aruqot. Tradisi merubah nama paska menunaikan ibadah haji ini merupakan tradisi yang umum di kalangan keluarga para kyai di jawa contoh saja yang perna kita lihat di film sang pencerah pergantian nama kyai ahmad dahlan, dan murid-muridnya.
           Setelah wafatnya kyai asfiya’ kepemimpinan pondok di teruskan oleh kyai muchyidin dalam hal ini beberapa selang tahun pondok mengalami kemajuan besar saja hingga santrinya pun bertambah banyak ada yang datang dari daerah tulung agung, lamongan, gresik dan blitar meski bangunan-bangunannya masih sangat senderhana, kyai zaman dahulu tidak mementingkan bangunan fisik pesantren namun yang di utamakan adalah membangun mental moralitas santri-santrinya baik yang ada di pondoknya maupun warga masyarakat kedung cangkring, kyai zaman dahlu tidak gampang mau menerima uang dari pemerintah kyai dahulu sangat selektif dalam rangkah mencari uang yang masuk untuk kepentingan pesantren, kyai dahulu lebih mementingkan keberkahan hidup dan nirakati santri-santrinya.

Tempa t mayoritas pedagang batik

           Perjalanan desa kedung cangkring sebagai kampung batik juga sebagai kota santri hubunganya erat sekali. Mengingat pada waktu itu beberapa juraga batik atau orang kaya di desa tersebut rata-rata adalah pejuang agama, salah satu contohnya Dulu seorang ulama’ bernama kyai chayyun menetap di kedung cangkring sebagai menantu kyai ahmad aruqot memulai usaha dengan menjadi pengusaha batik, banyak yang memberi bantuan modal kepadanya seperti H.jamiin, H.mubin, dan para pengusaha atau orang kaya lainya, namun karena kyai chayyun bukanlah fak pedagang maka disuruh berhenti dan di suruh berkonsentrasi pada pengelolaan pondok pesantren yang kyai ahmad aruqot dengan gantinya para pengusaha senantiasa mencukupi kebutuhan kyai chayyun yang mengelolah pondok.
       Itulah sekelumit gambaran masyarakat kedung cangkring pada zaman dahulu. Hubungan sinergitas antara ulama dan pengusaha berjalan harmonis, saling melengkapi, saling mengisi bukanlah mempolitisi seperti era belanda. Itulah sebabnya setiap elemen masyarakat, baik ulama, pengusaha maupun masyarakkat biasa duduk istiqomah pada tempatnya masing-masing. Karna ulama pada masa ini tetap istiqomah pada tempatnya sebagai pengayom, pembimbing umat. Harmonisasi demikianlah pada era kyai aruqot sampai kyai chayyun begitu terasa.
        Desa kedung cangkring merupakan desanya para kyai, karna menurut banyak orang bahwasanya banyak kyai-kyai lulusan dari pondok desa kedung cangkring, terutama pada alumnus pondok pesantren roudlotul mutaa’limin muta’alimat. Dalam hal ini pernah di tuturkan oleh banyak beberapa santri atau beberapa kyai “barang siapa yang nyantri di sini nanti setelah pulang kerumah minim-minimnya jadi mudin” hal ini merupakan ungkapan yang tak asing lagi di desa tersebut perkataan ini sudah ada sejak dulu oleh sesepuh bapak para kyai desa tersebut yaitu KH.Ahmad Aruqot.
         Banyak para kyai-kyai yang alumni dari pondok tersebut seperti kyai sofwan di pamotan porong sidoarjo, kyai shahid pemimpin toriqoh kecamatan paceng dan masih banyak lainya, banyak hubungan santri pondok dan desa kepada para kyai, contoh salah satu sesepuh almarhum kyai ahmad aruqot yang merupakan pendiri pondok pesantren pertama di desa tersebut kehidupanya amat senderhana, misalkan ketika seorang kyai mendidik santri untuk hidup senderhana, dalam hal ini kyai ahmad aruqot biasanya selalu mengeluarkan zakat tijaroh, menjaga makanan hingga yang masuk adalah rizqi yang halal saja atau lagi menurut salah satu kyai yang  merupakan cucu dari kyai ahmad tersebut yaitu kyai muharror setiap kali panen kyai ahmad aruqot tidak langsung memesukan gabahnya kedalam lumbung padi sebelum gabah tersebut di zakati. Jadi setelah gabah-gabah itu terkumpul kemudian di taruh di pintu lumbung padi di teruskan kyai ahmad aruqot mengumpulkan para tetangga atau orang-orang yang wajib menerima zakat, setelah gabah tersebut di zakati barulah gabah-gabah tersebut di masukan kelumbung padi.
          Para kyai zaman dahulu seperti kyai ahmad aruqot, kyai chayyun, kyai asif, kyai siroj kholil, gus bakar dan banyak yang lainya, mereka memberi contoh yang baik pada santri dan masyarakat seperti dalam hal keistiqomahanya mereka mengajar atau mutholaah ktab semua warga santri tahu jadwalnya setiap kali mereka pergi kemasjid, pergi thoriqoh, muthola’ah kitab pada jam 23.00-01.00, waktu marung semua warga tahu hampir kebiasaan kyai-kyai yang nyeleneh seperti kyai chayyun apabila tiap pagi atau tiap jalan-jalan ia selalu membawa uang receh koin dan memakai sandal bengkiak yang jadi pada waktu berjalan selalu kedengaran suara nyari koin tersebut dan pada waktu itu juga ada anak-anak kecil mengerubuginya maka di kasihilah si anak semua anak kecil tersebut dan kepada para pengemis yang ia temui di pinggir jalan sampai uang koin itu habis, misal lagi mbah ud wali di sidoarjo dulunya senang datang kekedung cangkring saat di tengah-tengah pengajian, wali tersebut langsung memasuki majlis ta’lim tersebut dan langsung bertatap hadapan muka dengan jarak yang dekat antar si pengajar dengan mbah ud dan mbah ud menggodanya perlu di ketahui mbah ud tidak pernah memakai alas sepatu jadi setiap masuk mushallah atau masjid pun tidak pernah bersuci entah bagaimana hukumnya karena mbah ud ini merupakan waliyullah maka semuanya diam saja.
          Mubin  menyebut, batik di Kedung Cangkring, bahkan pernah terkenal se Indonesia.  ”Dulu orang Pekalongan itu belajar batiknya juga dari Kedung Cangkring. Sekitar tahun 1956 saya pernah ke Pekalongan melihat pasar Batik. Di sana saya ketemu beberapa orang tua di Pekalongan. Ia cerita perihal pengalamannya belajar Mbatik di Kedung Cangkring. Bahkan sampai Pekalongan terkenal sebagai kota batik, sesungguhnya belajarnya di Desa Kedungcangkring,” paparnya.
          Meski banyak peristiwa penting terjadi di Kedung Cangkring, namun sampai saat ini, siapa tokoh yang Mbabat Desa Kedung Cangkring masih tersaput misteri. Itu bisa dimaklumi karena peristiwa – peristiwa penting yang terjadi di Kedung Cangkring umurnya sangat tua, diperkirakan tahun 1300 an akhir. H. Mubin hanya menyebut asal kata Kedung Cangkring berdasarkan makna bahasa atau menurut musyawarah di pondok pesantren roudlotul muta’aliamin yang merupakan pondok yang sangat tua dalam acara pertemauan alumni muai dari angkatan pertama sampai akhir dengan di hadiri KH.Muhaimin aruqot yang merupakan anak dari KH.Achmad aruqot tersebut dalam bahasan materi halaqoh atau sarasehan biografi KH.Achmad aruqot mengatakan bahwa semua bukti yang telah tertulis dalam materi tersebut benar namun hal itu terungkap hanya batas pada zaman KH.Achmad aruqot tersebut.
          Ada hal yang menarik dari salah satu sekolah yang ada desa kedung cangkring ini yaitu sekolah SMP/SMA avisena, awalnya sekolahan tersebut bernama madrasah Mu’allimin-Mu’allimat yang di ambil dari nama pondok pesantren yang pertama di desa tersebut yang di ajar oleh para kyai desa tersebut KH.Muharor Chayyun salah satunya dan sekolah tersebut merupakan satu-satu sekolah madrasah di Kecamatan Jabon (dan sekitarnya). Mengalami kemajuan yang cukup pesat, hingga ruang kelas yang tersedia tidak dapat mencukupi banyaknya jumlah siswa yang belajar. Karena semakin banyaknya siswa dan kapasilitas lokal kelas yang sangat minim, walhasil dari sekian siswa yang ada sebagian besar mengikuti pelajaran di rumah-rumah penduduk (Desa Kedungcangkring). Tidak lain yang menjadi motivasi masyarakat Kedungcangkring adalah untuk mewujudkan kualitas pendidikan generasi muslim di lingkungan Desa Kedungcangkring dan sekitarnya dalam menghadapi gempuran peradaban yang semakin memprihatikan.
     Pada awal pembangunan gedung sekolah (kelas) banyak masyarakat yang memberikan sumbangannya dengan berbagai macam bentuk material, antara lain, batu bata, gentheng, pasir, dll, yang dikumpulkan di depan masjid An Nur. Dua tahun kemudian, dibentuklah panitia pelaksana pembangunan gedung sekolah yang dipimpin oleh KH Abdul Latief, dan KH Siroj Kholil - Kiai Hayyun sebagai penasehat.
         Selanjutnya, pada awal tahun 60-an, proses pembangunan gedung sekolah cukup terbantu oleh koperasi pengrajin batik atau yang disebut dengan BKBI (Badan Koperasi Batik Indonesia). Melalui dorongan yang dilakukan oleh asosiasi pengrajin batik Desa Kedungcangkring, akhirnya BKBI memberikan bantuan dana yang cukup guna mencukupi pembiayaan bangunan gedung sekolah. 
       Meskipun masih banyak kelemahan dan kekuarangan, proses pembanguna gedung sekolah AVISENA mendatangkan arsitek dari Singosari, Malang, KH Abdul Aziz. Mulanya gedung sekolah dibangun di atas tanah yang dibeli oleh warga Desa Kedungcangkring. Lokasinya di sebelah selatan sungai Porong (sebelah dam Desa Kedungcangkring). Namun, proses pembangunan belum kelar 100% pengurus mau tidak mau harus membongkar bangunan sekolah karena berbenturan dengan proyek pelengsengan kali porong oleh proyek dari dinas pengairan Pemprov Jatim. Setelah melakukan negosasi panjang tentang ganti rugi  tanah dan bangunan, bangunan gedung sekolah AVISENA diletakkan di sebelah timur Desa Kedungcangkring (lokasi sekarang).

KEMUNDURAN KAMPUNG BATIK DAN SANTRI
           Desa kedungcangkring merupakan desa yang terkenal dengan kampung batik dan desa santri seperti yang terlihat di atas bahwasanya desa ini penuh sejarah dengan kampung batik dan pesantren yang tidak bisa di lepaskan keberadaanya seperti budaya, peran dan hal lain yang membangun desa tersebut. Tapi mengapa pada era masa kini budaya batik di desa santri sudah tidak ada atau bahkan kalau orang menganggap tidak mungkin kalau desa tersebut merupakan desa batik banyak pedagang dan pembuat batik dan juga merupakan pusat peradaban batik yang tak bisa di lepaskan dalam budaya batik indonesia seperti yang kami cuplik di internet yang ada kaitanya dengan batik yang menyangkut batik tersebut :
 Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluarga kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
          Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
         Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
         Dari cuplikan cerita di atas di mana desa kedungcangkring jabon sidoarjo memang terbukti daerah pasar batik atau dampak dari awalnya penjualan obat-obatan dari cina dan hal itu tak lepas dari sejara mojokerto serta bangil yang merupakan arus jalan air sungai brantas dan tak diragukan lagi bahwasanya banyak orang bangil sekarang arab atau tionghoa begitu juga desa kedung cangkring penduduknya dahulu. Namun yang paling menjadi sorotan penti mengapa terjadi kemunduran batik dan santri di desa kedungcangkring, adapun alasan-alasan dari banyak sekian warga antara lain sebagai berikut:

  • Banyak para pedagang batik yang tidak laku jual batiknya akhirnya mereka para pedagang batik satu demi satu mereka menutup usaha batik mereka dan hampir atau yang terakhir itu batik masih ada pada tahun 1990 setelah itu hilang entah kemana, di katakan dari sebagian warga keanyakan mereka pindah tempat seperti surabaya untuk menjual batik hasil buatanya.
  • Di samping tidak lakunya batik ini juga di pengaruhi oleh orang cina yang bertempat di surabaya yang bernama Tai Shin. Tai shin juga merupakan pedagang batik tapi ia bukan pembuat selayaknya orang-orang kedungcangkring membuat dengan berbagai proses seperti menggambar, memalami, mewarnai, melunturkan malah sampai jadi batik yang indah dan bersejarah di indonesia, yang di lakukan oleh tai shin ialah memborong kebanyakan batik yang berasal dari desa kedungcangkring lalu gambarnya di copy lalu di cetak dengan alat-alat yang modern agar lebih banyak dan lebih cepat hasil produksinya sehingga dapat menghasil laba yang melimpah, dari sinilah batik di desa kedungcangkring tidak laku dan akhirnya menghilang
  • Para pemuda dan pemudi di desa kedungcangkring tersebut tidak mau belajar dan melestarikan budaya batik di desa tersebut akhirnya budaya tersebut punah pada masa anak-anak mereka.
Dahulu kala banyak santri yang mondok di desa kedungcangkring karena pondok yang pertama ada di daerah porong sidoarjo, gempol adanya bertempat di desa kedungcangkring yang bernama Roudlotul banin (Roudlotul muata’alimin muta’alimat), adapun perkembanganya seperti yang tertera di atas antarralain:
         Pada sekitar tahun 1889 masehi, di desa kedungcangkring telah berdirih sebuah majelis ta’lim, di mana pada saat itu masih belum di beri nama atau bahkan masih belum merupakan pemondokan bagi santri yang bermukim hanya saja pada saat itu banyak santri-santri yang berasal dari daerah kedungcangkring sendiri yang jumlahnya saat itu hanya sekitar 25 orang santri.
          Setelah kurang lebih 5 tahun berjalan majelis ta’lim  tsb semakin di kenal, baik oleh pendukung setempat atau orang-orang di luar daerah sehingga dengan demikian banyakah orang-orang muda yang datang kek ked.cangkring guna menuntut ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan agama di majlis ta’lim tersebut. Di antara mereka berasal dari jawa tengah, kudus dan daerah setempat yang kemudian bermukim di kedung cangkring, sehingga dengan demikian terbentuklah sebuah pondok pesantren dengan jumlah santrinya kurang lebih 60 orang.
         Dan dari tahun ketahun pondok tersebut semakin bertambah banyak santrinya dan juga muncul pondok-pondok kecil seperti baitul hikmah, as-syafiyah, darunnajah dan lainya, di mana pada era tahun 2000 santri yang bertempat tinggal di desa kedung cangkring tersebut sekitar +1700 santri yang atau sampai mencapai 2300 santri yang bertempat tinggal di desa tersebut.
          Baru setelah adanya bencana semburan gas lapindo, dengan adanya isu-isu dampak dari adanya semburan lapindo yaitu akan terjadi amblesnya tanah yang menenggelamkan daerah-daerah di sekitar lapindo seperti porong, tanggulangin, jabon, kedungcangkring, padukuhan dan desa-desa kecil yang di sekitarnya, maka banyak orang-orang yang khawatir memondokan anak-anaknya di daerah tersebut takut terjadi bahaya yang menimpah anak mereka yaitu ikut tenggelam dari dampak amblesnya tanah.




[2][1] Nawawi, Munir,Chuzaimi. Biografi kyai achmad aruqot  dan sejarah berdirinya pondok Pesantren  Roudlotul Mutaalimin-Muta’alimat, kedung cangkring-jabon-sidoarjo

Tidak ada komentar: