Jumat, 20 Desember 2013

Expedisi Penjalin



Kami dengan Pak Polo

            Sebuah benda yang sudah jadi budaya yang khas disetiap Pesantren, Penjalin nama sebuah alat yang digunakan bagi para guru salaf untuk mendidik para santrinya, benda itu berfungsi untuk menunjukan tulisan kepada para santri dan yang lebih uniknya lagi untuk sebuah Takzir,Takzir merupakan suatu pelajaran bagi santri yang telah melakukan sebuah Kesalahan, Pelanggaran dan Kelalaian, seperti: malas belajar, terlambat jama’ah, terlambat ngaji, Merokok dan masih banyak lainya. Kami Nasyrudin, Adim, Ulum dan Mas’ud melakukan sebuah petualangan “ Ekspedisi Penjalin ”, karena penjalin dipesantren yang kami tempati sudah habis, entah itu dimakan, dibuang atau dipatahkan tidak mengerti, karena kami anggap santri yang kami ajar seperti manusia super, super mbulet, tangan kaki bagaikan baja, keras kepala dan semoga allah memberi suatu kelebihan super bisa (berkah).
Ditegah-tengah G.Kukusan dan G.Anjasmoro
            Sebuah pertanyaan yang pastinya lewat dipikiran saudara pembaca, Pesantren mana, berpetualang kemana, dan Ekspedisi Penjalin itu apa gunanya !. Kami dari Pesantren Roudlotul Muta’’alimin Muta’alimat akan melakukan sebuah petualangan mencari benda tersebut di pedalaman hutan yang luas dan tempatnya berada diperbatasan antara kabupaten Mojokerto dan kabupaten Jombang dekat dengan TAHURA (Taman Hutan Raya), lebih jelasnya disebuah desa tegah hutan yakni dusun Kesiman, desa Rejosari, kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Bagi saya hal ini sudah biasa saya lakukan (@nasyrudin), namun bagi teman-teman seperti Ulum dan Mas’ud merupakan pengalaman yang pastinya akan mereka anggap pengalaman balu dalam beberapa tahun lamanya. Karena sebelum melakukan Ekspedisi Penjalin tersebut pastinya kami akan bersinggah dirumah warga, yang bearti sedikit banyak teman-teman harus mencicipi sedikit kehidupan masyarakat tengah hutan ini, udara sejuk, para lelaki perkasa, rumah berpapan kayu,  si kecil berangkat sekolah jam setengah 6, anjing yang selalu menjaga desa dan terlebih kopi alami sebagai penghangat pagi.
Pencari bong diatas puncak

           Pagi setelah sarapan asli karya warga, kami pun berangkat dengan dipandu pak kuswanto menuju belantara yang luas, setiap lembah, padang dan bukit kami lewati, rimbunnya pohon sampai Matahari yang tak mengintip menembus jalan yang kami lewati, seperti kemiri, bambu, jengkol dan banyak tumbuhan lain yang menjadi mata pencaharian warga tak sedikit kami menemukanya. Burung-burung berkicau terbang mondar mandi sehingga membuat kepala ini ikut berputar menamai “burung apa ya” banyak sekali kata Tanya terlontar, mata yang selalu sibuk mengawasi kian kesana kemari, melihat BONG “ tunas bambu” yang dipikul warga menuruni puncak gunung, para ibu-ibu yang kian dari jam 3 pagi tadi mengelilingi rimbunya kemiri, para pemuda membentangkan jaring demi sebuah burung, dan lelaki perkasah “ Pemburu Madu ” dibelantara yang luas tanpa perduli hewan buas menghadap.

             Kami hanya bisa melihatnya tanpa melakukan apa-apa, jika apa yang harus dilakukan dengan apa kami melakukan tindakan tersebut, disini kami berjalan menyusuri tiap tantangan untuk mencapai puncak, dan ini pun tak terlalu sulit dibanding dengan apa yang dikerjakan oleh warga dalam kehidupanya sehari-hari. Setelah kami melewati beberapa rintangan yang panjang, menaiki ciptaan tuhan yang begitu perkasa, ternyata terdapat keindahan dibalik itu semua gunung tertata sedemikian rapi, air terjun begitu tinggi dengan sedikit malu tertutup pohon yang besar, belantara yang digelar dengan pohon-pohon yang besar hanya tampak seperti karpet kain wolf, sungguh indah, kipas angin menggelitik kepalah dan mengelus-elus hati. Tapi senyuman itu terus berlanjut miris saat lelaki lebih tua dari pak kuswanto memikul BONG lebih dari 80Kg menuruni gunung yang begitu megah. Semua merasa bagaimana tuhan mencipatakan ini semua, membuat suatu kecocokan tanpa sebuah paksaan yang selalu ditekan seperti penguasa. Sebuah rantai rizki yang harus dicari dan ditata. Namun yang paling dominan disini adalah insting bukanlah akal yang dapat menata semuanya dengan benar bahkan memusnakanya bila perlu sampai lebur jika digandeng dengan nafsu.

Udin dengan Pak Polo menarik Rotan
            Setelah melegakan keindahan moment itu kami turun dan mengambil penjalin, sebuah pohon yang menjalar batangnya “ruwet” berduri untuk melindungi dirinya dan berbuah tapi tak dapat dimakan. Di pimpin pak kepala dusun “Kuswanto” kami memilah batang-batang penjalin dengan arit dan pedang, menariknya agar mudah panjang yang di inginkan. Memang sulit bukanya tak bisa didapatkan, kami Nasyrudin, Adim, Ulum, Mas’ud berterima kasih sebesar-besarnya kepada Pak Polo telah memberi pelajaran “Memang sulit tapi bukanya tak bisa”. Salam rimba semoga engkau tetap terjaga dan semoga engkau menjaga warga desa yang ada didalam rimba.
           

Kamis, 05 Desember 2013

Mengapa Banjarian Di kesiman

Penampilan Banjari Adik-Adik Kesiman
       Sebuah pertanyaan saat aku merenung tentang langkah apa yang di ambil, untuk kegiatan yang mempunyai dampak yang besar, walaupun itu hanya sebuah kesenian. Canda tawa si adik-adik kesiman di pagi hari yang begitu cerah dan berwajah kosong tak tahu apa itu arti penting tentang beragama “Masa Bodoh Apa Itu Agama” yang penting senang dan selalu senang menjadi anak tengah desa hutan yang jauh dari kampung di pinggir hutan, tak perduli meski KRISTENISASI dari para pendeta yang datang dari luar daerah kerap menghibur mereka, menina bobokan mereka, dan selalu berusaha menggambar di hati sanurbani mereka tentang Kristenisasi agar mereka berkeyakinan bahwa agama Kristen adalah agamaku dan islam bukan agamaku.
          Hal itu bisa saja terjadi, bayangkan saja jika realitanya kesiman merupakan warga kampung desa tengah hutan nan jauh, lingkungan pendidikan yang sangat rendah apalagi pendidikan agama islam, satu orang yang mengajar secara istiqomah adalah suatu perjuangan yang sangat besar, melihat orang tua yang notabene dengan pendidikan anak karena mereka selalu pergi kehutan bahkan sampai pucuk gunung untuk mencari rejeki demi keluarga tercinta, berangkat pagi pulang maghrib. Di tambah lagi budaya masyarakat desa abangan terbukti dari beberapa sesajen dan kesenian jaranan mereka “Turonggo Mudo” yang memerlukan sesaji sebelumnya untuk atraksi memasukan jin kedalam tubuh pemain. 
Mengapa Harus Banjari Di Kesiman !
Ust.Shobirin guru agama dari PP Al-Hamid
Setelah 4 hari hidup dengan masyarakat kami mulai memahami sedikit tentang kehidupan masyarakat dengan cara mengikuti mereka bekerja, sebatas mana pendidikan anak-anak mereka dari kegiatan bermain sampai bimbingan belajar tiap malam hari dan beberapa hal lainya yang sulit diceritakan secara ringkas. Namun, sore itu yang membuat aku berbungah-bungah ketika wajahku yang penasaran saat datangnya 2 orang layaknya ustad  berdiam di mushollah dengan wajah menunggu anak-anak yang sedang pergi dari permainanya. Sela beberapa menit kemudian adik-adik datang berpakaian alah busana jaman dulu berkerudung sambil membawa Jet Tempur hanya 4 orang anak. Sambil menunggu adik yang lainya datang aku mulai menyapa, bertanya, bercanda tentang siapa mereka, apa tujuanya, dan apa yang mereka alami selama ini menjadi guru ngaji di desa tengah hutan ini.
          Sedikit shock bukan main, mereka berasal dari kampung bawah, luar hutan sejauh 8 KM menuju dari tempat ini demi mengajar adik-adik kesiman, tidak ada kata mengeluh walaupun yang datang cuma 4 anak, setelah selesai mereka pulang. Itulah yang mereka lakukan setiap hari dan selama 2 bulan untuk kampung ini, mereka yang terhiraukan demi warga kampung, mengerti jika Kristenisasi sedang mengancam, sungguh sebuah perjuangan yang membuat aku kalah. Sejak saat itulah kami mulai akrab.
Mas hari minggu pagi biasanya adik-adik latihan “BANJARI” sampean ikut ya, kalau hari biasanya hanya mengaji di sini.
Tangguh yang selalu memotivasi adik-adik Kesiman
Sebuah jalan masih terbentang luas untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat yang bisa mengundang kegiatan lainya yang lebih bermanfaat dan lebih baik. SIAP . . .  ustad Iril N ustad birin,
            Tak lupa aku meminta bantuan kepada sang ketua Sri, sang patner Tangguh, dan saudariku Ruro, dwi. Sepakat dari beberapa kegiatan lainya. mari kita tingkatkan proses belajar mengaji di mushollah dengan guru yang datang dari PP.Al-Hamid bangon.
            Sebuah insting saat aku ingin belajar banjari di PP.Roudlotul Muta’alimin namun tidak pernah bisa walaupun sudah hampir 6 tahun lamanya. Latihan banjari adik-adik hanya bisa mereka lakukan setiap hari Minggu, kemudian mereka tambahi lagi hari Kamis sore. Namun adik-adik lambat dalam belajarnya, akhirnya alat apa saja yang bisa di buat latihan mari kita ambil. Adik-adik pun setelah belajar banjari minggu sore dari PP.Al-hamid. Tidak patas semangat walaupun hujan dan lengketnya tanah menghambat sepeda motor kami dari jarak 7 KM meter naik keatas gunung di dalam hutan, menyempatkan meminjam rebana dari dusun sebelah (meski rebana bukan untuk banjari) kami yakin kami bisa belajar dengan alat ini dengan lebih efisien, setiap hari kami berlatih, tak lupa kegiatan lainya untuk Pemberdayaan Masyarakat pun kami lalui melalui komando Sri, seperti Pemetaan, wawancara, PDKT, merumuskan pohon masalah dan harapan dalam FGD (Forum Group Discussion) yang panas dan berujung sebagai kemanisan. Sejak saat itulah KRISTENISASI mulai mengurangi kegiatanya kedaerah ini. entah kenapa, yang penting masyarakat melakukan kegiatanya yang cemerlang untuk membangkitkan kualitas belajar mereka.
Sri, Ruro dan dwi bertukar pikiran dalam FGD Akbar yang tengah panas
            Tepat di hari malam acara perpisahan sebuah Gotong Royong yang amat tinggi tak bisa kami kami lupakan, waktu inilah adik-adik membuktikan bahwa mereka mampu, seperti adik Risa yang bisa menjadi MC, penampilan bagus banjari adik-adik di depan orang tua serta para tokoh membuat masyarakat semangat membara untuk meningkatkan pendidikan mereka yang terus berlanjut sampai sekarang dengan tindakan yang tidak pernah habis sebelum kata sempurna muncul. WALAUPUN KATA SEMPURNA MENGEJAR ILMU PENGETAHUAN ITU TIDAK ADA.

Sang Penambang Belerang



Kami Melihatnya
Kaki-kaki baja dengan perawakan yang begitu tangguh melewati tenda kami, kami menyaksikanya. Pagi itu hari minggu, setelah semalam yang penuh lelah kami bermukim dikaki Gunung Welirang kurang 1,5 KM sampai di puncak. Kami menyaksikan kaki-kaki manusia yang tak jauh berbeda dengan kaki kami, wajah yang tak jauh beda dengan kami, dan terlebih lagi paru-paru yang sama tak jauh berbeda dengan kami. Namun ku akui sungguh tangguh dan hebat dengan memikul gerobak seberat 5 kg untuk digunakan mengangkut beberapa kwintal belerang dari samping puncak gunung welirang. Ini manusia apa superman apa robot.
Sebuah kebiasaan yang tidaklah lumrah, kecamatan prigen kabupaten pasuruan merupakan sebuah kecamatan yang cantik dengan pemandangan alam dan hawa yang sejuk seakan mengelus-elus paru-paru bagi para wisatawan yang datang dari berbagai penjuru Indonesia lebih-lebih turis yang siap melihat balapan kuda, sebagian dari masyarakat juga menyewakan kudanya untuk hiburan berkendara kuda bagi para wisatawan, ada juga tempat-tempat lain yang begitu alami seperti air terjun, sebut saja yang terkenal air tejun KAKEK BODOH yang terdapat di tengah hutan yang tak jauh dari jalan ramai, disana terdapat beberapa gerombolan kera yang siap menyapa. Begitu pula mata pencaharian masyarakat lainya seperti bertani berbagai macam tanaman mulai dari sayuran sampai buah-buahan, tidak ketinggalan sapi merupakan gembalaan yang paling utama karena persediaan rumput yang masih cukup berselimut didaerah sekitar. Terdapat pula para tukang kebun yang selalu diselimuti  berbagai macam bunga yang indah, tertata dengan rapi menjadi penyejuk bagi para pengunjung daerah tersebut.
Puncak dan tempat penambangan gunung welirang
Di balik itu semua, mengapa masih terdapat sebuah pekerjaan yang sangat berat dan menyayat hati kita semua, seperti PSK, selubung tengkulak dan para penambang belerang di puncak Gunung Welirang. Sebuah batu merah yang selalu ada di manapun itu tempatnya, baik itu di gunung, di tengah hutan, di pesisir dan sampai di tengah hiruk pikuknya desa dan kota batu merah itu kan selalu tetap ada bahkan mungkin bisa menjadi besar dan mungkin juga bisa menjadi kecil. 6 November 2013 kami (Nasyrudin, Ulum dan Nanang) menyaksikanya, setelah aku mendengarnya hanya dari bibir ayah temanku Tangguh. Tanpa kaca mata, tanpa penghalang kami menyaksikanya; kaki-kaki manusia yang tak jauh berbeda dengan kaki kami, wajah yang tak jauh beda dengan kami, dan terlebih lagi paru-paru yang sama tak jauh berbeda dengan kami. sungguh tangguh dan hebat dengan memikul gerobak seberat 5 kg untuk digunakan mengangkut beberapa kwintal belerang mereka rela menyesuri kokohnya gunung welirang dalam waktu sepanjang pagi. Tepat pukul 8 pagi kami dibisingkan dengan suara telapak kaki para penambang ini tanpa sebuah Masker mereka terus melangkah dalam udara yang penuh dengan debu, ku lihat apa yang mereka bawa; sebuah kerangka gerobak lengkap dengan 2 roda sebagai kaki untuk menggelinding, potongan ban yang menempel di belakan gerobak yang digunakan sebagai rem dan yang sangat penting sebuah 2 botol air mineral dan sebungkus makanan yang terikat dengan rapat di gerobak yang mereka pikul atau tarik.
Ini manusia apa superman apa robot, mereka sangat tangguh hanya dalam waktu yang begitu singkat jam 8 pagi mereka sudah di puncak gunung welirang padahal kami menghabiskan waktu seharian untuk sampai kepuncak welirang, ditambah lagi dengan beban berat membawa sekitar 3 kwintal belerang naik turun sebanyak 3 kali dalam sehari ke pondok welirang, ditemani bahan bakar air mineral dan sebungkus nasi. Bayangkan berapa gajinya mereka, mereka rela melakukan itu semua untuk mencari rejeki dengan menghadapi bahayanya belerang bagi paru-paru mereka, curamnya jurang yang mereka lewati untuk menempatkan belerang pada tempatnya, dan sebuah kelelahan tiada banding dengan perawatan tubuh mereka setiap harinya. Sampai kapan ini terus berlangsung apakah tidak ada pekerjaan lain, apakah mereka terdepak dari pekerjaan lainya itu. Dan terlebih lagi doaku, semoga kalian baik-baik saja wahai para penambang . . .