Review Hasriadi Ary
Aliguka mengisap rokoknya dalam-dalam sambil
duduk terhenyak, nyaris tanpa tenaga. Wajahnya penuh keringat. Nyaris berbisik,
ia berkata, “Aku tak tahan lagi. Aku ingin istirahat sejenak.”
Itu adegan pembuka dari film Aliguka karya Forum Film Makassar. Film ini
mengisahkan seorang pemuda bernama Aliguka yang berjuang dengan idealisme
meluap-luap melawan arus lalu akhirnya kehabisan energi, bahkan jadi gila. Nama
tokoh utamanya “Aliguka” jika dibalik menjadi “Akugila”. Tag line-nya meringkas
kisah film itu: “Mereka menyebutnya gila, agar ia berhenti berpikir dan
melawan.”
Saya tak ingin berkomentar soal teknis film ini yang memang tak luput dari
berbagai cacat, mulai dari soal kualitas suara, mutu akting, dan berbagai cela
visual. Saya justru terpukau dengan tema yang diusung duet penulis naskahnya,
Aan Mansyur dan Rusmin Nuryadin. Idealisme yang mengaliri nadi kru film yang
diproduseri oleh Alem Febri Sonni ini terpancar kuat dalam karya mereka.
Makanya saya lebih tertarik menjadikan tema film ini ajang bercermin.
Sesungguhnya, nasib Aliguka adalah nasib paling lazim dari orang-orang yang
kadang “secara serampangan” dilabeli “kaum aktivis”. Biasanya mereka
orang-orang yang tak puas dengan keadaan lalu nekad mempertontonkan
ketakpuasannnya. Bahkan ada yang melangkah lebih jauh, berusaha mengubah
keadaan menjadi lebih baik, menurut alam pikirannya sendiri. Umumnya pula
mereka anak-anak muda yang mengumbar kritik dalam pelbagai bentuk, dari yang
paling sopan hingga paling “kurang adab”.
Aliguka tipikal aktivis mahasiswa ideal: gemar membaca, rajin menulis,
pentolan demonstrasi. Meski ia emoh memacetkan jalan, dan lebih memilih pena
sebagai alat unjuk rasanya. Sebagai bonus, memiliki daya pikat bagi cewek yang
suka dengan sosok cool. Nyaris melodramatis, ala sinetron.
Jiwanya yang gelisah semakin dipermurung oleh latar belakang keluarganya.
Ayahnya, anggota dewan yang kolot bin korup. Ibunya, sudah lama meninggal
karena sakit jiwa, yang entah kenapa tak pernah dijelaskan.
Potret Aliguka juga mendera banyak aktivis pasca mahasiswa atau gegap
gempita masa muda. Banyak dari mereka yang capek melawan, lalu menyerah. Bahkan
lebih tragis ikut arus yang dulu dilawannya. Lebih ironis lagi, kelelahan
sebelum sempat mengerti, siapa yang dilawannya selama ini dan kepada siapa ia menyerah.
Soe Hok Gie, ikon gerakan mahasiswa ’66, pernah mengirimi celana-dalam
perempuan pada kawan-kawan seangkatannya yang sibuk “melacur” setelah duduk di
DPR. Atau yang masih cukup dekat, aktivis reformasi ’98 yang setelah masa
eforia berakhir, paling banter kebagian jadi tim sukses, mendudukkan
orang-orang dari rezim lama yang berganti baju. Seakan-akan dunia aktivisme
hanya konsumsi muda belia yang belum merasakan kegetiran hidup. Sehingga
tercipta siklus: kritis di masa muda, melempem di masa tua.
Ini zaman edan memang, semuanya sudah serba terbalik. Tapi Aliguka menolak
ikut sinting, justru dia yang paling waras. Dia memilih cari makan gratis di
rumah sakit jiwa, setelah lelah jadi pengangguran terdidik yang tak mampu
mencari sebakul nasi. Namun gambaran ini membentuk stereotip lain tentang
aktivis sebagai tukang gerundel, yang bahkan tak sanggup mengisi perutnya
sendiri. Seolah-olah kemampuan terpenting seorang aktivis adalah menggerutu.
Dari gerutuan picisan, hingga yang sedikit sok bermutu, yang dilapisi aneka
dalil ilmiah.
Ini juga meneguhkan citra tentang aktivis sebagai kavlingan para
cultural-elite semata, dari mahasiswa, dosen, aktivis LSM, seniman, hingga
politikus. Topik gerutuannya pun tergantung lahan yang ditekuninya. Aktivis
film menggerutu tentang selebritas hantu di dunia perfilman. Aktivis
anti-korupsi koar-koar tentang gerakan kasus Bank Century. Aktivis LSM lainnya
sibuk dengan tema yang lagi seksi di mata para donor. Dan politikus
berasyik-masyuk menutupi kedegilannya dengan berdandan apik agar terlihat elok
saat muncul di layar kaca.
Saya jadi teringat sosok Tata Mandong. Sudah puluhan tahun ia tinggal di
kaki Gunung Bawakaraeng menjaga kelestarian alam di sana. Ia memelihara
beberapa ekor sapi. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia juga tanam sayuran. Kabar
terakhir ia sekarang juga memelihara ikan di kolam buatannya. Tata Mandong
jelas tak mengklaim diri sebagai aktivis pencinta lingkungan. Ia sudah
‘bergerak’ jauh sebelum penguasa Sulsel gembar-gembor tentang ‘go green’ dan
jelas ia lebih ‘hijau’ daripada para kelompok pencinta alam yang kerap
menyambanginya. Ia juga tak sesumbar soal kedaulatan pangan. Ia
mempraktikkannya.
Atau Hanoch Luhukay, sejarawan dan pelaku sejarah dari Ambon, yang setia
menyimpan koleksi koran-koran tua Sulawesi Selatan sejak tahun 1956. Waktu
berkunjung ke rumahnya hampir sepuluh tahun lalu, saya takjub pada ketekunannya
memelihara dokumen-dokumen bernilai sejarah itu. Sebelum mangkat awal tahun
lalu, ia telah mewariskan karya monumentalnya sebagian ke Pusat Arsip Makassar,
sebagian lagi ke Pemprov Maluku.
Ada juga Puang Lattu’, aktivis legendaris di kaki Gunung Bulusaraung. Lattu
sebetulnya bukan penduduk asli kampung ini, bahkan tak ada yang tahu persis
asal-usulnya. Ia datang seorang diri ke Dusun Bulu-Bulu, Desa Tompo Bulu,
Kabupaten Pangkep, di awal tahun 1990-an. Di sana ia mulai bertani dengan
meminjam lahan tuan rumah yang ditumpanginya. Tapi ia tak disambut antusias,
bahkan karena caranya bertani yang tak lazim, ia sering dikira orang gila.
Lattu’ memang memiliki keahlian bertani di atas rata-rata, misalnya ia mampu
mengukur debit air lalu menentukan apa sumber air itu bisa digunakan untuk
mengairi sawah atau tidak. Ia juga dipandang ketinggalan zaman, karena masih
menerapkan budidaya padi tanpa pupuk kimia. Padahal saat itu Tompo Bulu sedang
demam pupuk kimia dan berbagai bentuk turunan revolusi hijau lainnya.
Disambut dingin, ia pun memutuskan hijrah ke kampung tetangga,
Galung-Galung. Di sana, Puang Lattu kembali menerapkan teknik budidaya padi dan
kopi ramah lingkungan. Dalam waktu kurang dari tiga tahun, Lattu’ berhasil
mengajak petani Galung-Galung menerapkan cara bertani yang diyakininya lebih
menjamin kesejahteraan penduduk kampung terpencil ini, dalam jangka panjang.
Sekarang Galung-Galung mampu menjadi pemasok beras kampung-kampung sekitarnya,
padahal dulu mereka harus beli beras dari Bulu-Bulu. Kini kebun kopi di
Galung-Galung terkenal sebagai kebun kopi nomor wahid.
Dan ini bukan dominasi lelaki saja, perempuan pun ada. Sebutlah Syarifah
Ampa, perempuan yang mendirikan dan mengelola puluhan sekolah mulai TK hingga
SMP, di kampung-kampung di tanah Mandar. Ia juga memimpin kelompok tani dan
menjadi patron dari petani di sekitarnya. Ia pernah dua kali terpilih jadi
anggota dewan Polman, hingga ia mengundurkan diri karena kapok berurusan dengan
politisi tengik. Atau Daeng Nur, pedagang pasar Terong yang menginspirasi
kawan-kawannya sesama pedagang kecil menolak penggusuran.
Tata Mandong, Puang Lattu, Luhukay, Syarifah Ampa dan Daeng Nur, adalah
orang-orang biasa yang tak dikenal, yang memiliki kegelisahan, lalu bekerja
membalikkan kenyataan yang ia hadapi. Mereka adalah aktivis dalam konteksnya
masing-masing. Tapi mereka memiliki paling tidak dua hal yang tak dipunyai
Aliguka, yang membuatnya menjadi idealis terpental.
Pertama, mereka tak sibuk dengan pikirannya sendiri. Aliguka lebih betah
dengan orang-orang dalam kepalanya. Ia banyak mengunyah buku-buku bergizi dari
kuartetnya Pramoedya, Shock Doctrine-nya Naomi Klein, hingga Social Animal-nya
Aaron. Sayang ia tak mampu mengkomunikasikannya dengan bahasa lebih membumi
kepada Daeng Tato, tokoh preman dan tukang parkir, dan warga rumah susun
lainnya. Padahal Aliguka punya penjelasan tentang apa dan kenapa ketidakadilan
terjadi di rusun itu, dan Daeng Tato punya pengalaman dan taktik mengatasi
persoalan yang mereka hadapi.
Padahal saya membayangkan Aliguka hidup berdampingan dengan warga rumah
susun, lalu membuat isi kepalanya jadi nyata. Tapi Aliguka tak punya kemampuan
menghubungkan antara penjelasan ala buku dengan tantangan nyata yang dihadapi.
Ia terjebak menjadi budak huruf yang tak mampu ia maknai bagaimana
mengejawantahkannya di dunia nyata. Ia bernasib seperti Don Kisot yang jadi
gila gara-gara percaya semua yang ia baca. Alih-alih ia makin depresi melihat
keadaan di sana. Aliguka berusaha menahan langit yang hendak runtuh, sendirian.
Bahkan Daeng Tato-lah yang mengajarinya cari makan dengan “mengurusi
mobil-mobil dan motor-motor” alias tukang parkir, setelah tulisannya
berkali-kali ditolak koran, yang lebih suka tulisan ‘ringan’.
Kedua, Aliguka tak punya kemampuan mengolah energi agar lebih bernafas
panjang. Ia terbakar amarahnya sendiri. Ia tak mampu membedakan tujuan dengan
strategi dan taktik. Jika saja ia mafhum bahwa yang terpenting adalah menjaga
bara dalam dada tetap menyala dengan nyala yang pas. Tidak terlalu panas hingga
menghanguskan semuanya, tapi juga tak redup hingga nyalanya padam sama sekali.
Ini memang perang tanpa akhir melawan kedegilan hidup manusia. Sudah sifat
kodrati untuk terus melakukan perbaikan. Dalam bahasa Al-Quran, khalifatun fil
ard, aktor transformasi sosial sepanjang masa. Karena manusia memang tak pernah
sempurna, sehingga aktivisme harus dilihat sebagai kaul panjang. Tak ada urusan
dengan umur. Ini soal alasan bertahan hidup.
Tapi Aliguka ingin melakukannya sekali jadi. Ia ingin menegakkan keadilan
sekarang! Padahal ia bahkan tak bisa memahamkan Daeng Tato, dan para
tetangganya di rumah susun, ketakadilan macam apa yang sedang menindas mereka.
Mereka bahkan tak sadar mereka sedang ditindas oleh kekuatan di luar diri
mereka, entah bernama pemerintah, pemilik modal, pemuka agama, LSM, dll.
Sehingga Daeng Tato harus mati ditikam oleh sesama begundal kecil.
Kemarahan anti ini, anti itu, hanya membuatnya semakin tak dipahami orang
bahkan dihindari. Sehingga ia semakin tenggelam dalam kesepian. Padahal saking
lamanya tertindas, orang-orang di rumah susun itu sudah melihat kemiskinan
mereka sebagai takdir yang tak mungkin diubah. Aliguka lupa itu.
Mungkin Aliguka bisa belajar dari Patch Adams. Ini judul film dengan nama
tokoh utama yang sama yang dibintangi aktor kawakan Robin Williams yang
diangkat berdasarkan kisah nyata. Patch Adams juga seorang visioner yang
pikirannya jauh melampaui zamannya. Bedanya kisah Patch Adams justru bermula
setelah ia masuk rumah sakit jiwa. Setelah lama bergelut dengan orang gila, ia
memutuskan jadi dokter dan menggunakan humor sebagai media pengobatan.
Mungkin kita harus ramai-ramai masuk rumah sakit jiwa mengikuti jejak
Aliguka, lalu menemukan jalan membuat dunia mengikuti kegilaan kita, seperti
Patch Adams.
Kaukah itu, Aliguka? Masuklah! *
Hasriadi Ary. Guru sukarelawan sekolah rakyat di kaki Gunung
Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Sejak tahun 2003 mengorganisir pembelajaran
kritis Rumah Kaum Muda lewat program pelatihan penelitian lapangan untuk
siswa/i SMA. Setelah rehat selama dua tahun untuk kuliah di School for
International Training, Vermont, AS, kini ia bergiat di Komunitas Ininnawa.
Sumber : komunitas film.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar