Selasa, 05 November 2013

Aliguka


Review Hasriadi Ary
Aliguka mengisap rokoknya dalam-dalam sambil duduk terhenyak, nyaris tanpa tenaga. Wajahnya penuh keringat. Nyaris berbisik, ia berkata, “Aku tak tahan lagi. Aku ingin istirahat sejenak.”
Itu adegan pembuka dari film Aliguka karya Forum Film Makassar. Film ini mengisahkan seorang pemuda bernama Aliguka yang berjuang dengan idealisme meluap-luap melawan arus lalu akhirnya kehabisan energi, bahkan jadi gila. Nama tokoh utamanya “Aliguka” jika dibalik menjadi “Akugila”. Tag line-nya meringkas kisah film itu: “Mereka menyebutnya gila, agar ia berhenti berpikir dan melawan.”
Saya tak ingin berkomentar soal teknis film ini yang memang tak luput dari berbagai cacat, mulai dari soal kualitas suara, mutu akting, dan berbagai cela visual. Saya justru terpukau dengan tema yang diusung duet penulis naskahnya, Aan Mansyur dan Rusmin Nuryadin. Idealisme yang mengaliri nadi kru film yang diproduseri oleh Alem Febri Sonni ini terpancar kuat dalam karya mereka. Makanya saya lebih tertarik menjadikan tema film ini ajang bercermin.
Sesungguhnya, nasib Aliguka adalah nasib paling lazim dari orang-orang yang kadang “secara serampangan” dilabeli “kaum aktivis”. Biasanya mereka orang-orang yang tak puas dengan keadaan lalu nekad mempertontonkan ketakpuasannnya. Bahkan ada yang melangkah lebih jauh, berusaha mengubah keadaan menjadi lebih baik, menurut alam pikirannya sendiri. Umumnya pula mereka anak-anak muda yang mengumbar kritik dalam pelbagai bentuk, dari yang paling sopan hingga paling “kurang adab”.
Aliguka tipikal aktivis mahasiswa ideal: gemar membaca, rajin menulis, pentolan demonstrasi. Meski ia emoh memacetkan jalan, dan lebih memilih pena sebagai alat unjuk rasanya. Sebagai bonus, memiliki daya pikat bagi cewek yang suka dengan sosok cool. Nyaris melodramatis, ala sinetron.
Jiwanya yang gelisah semakin dipermurung oleh latar belakang keluarganya. Ayahnya, anggota dewan yang kolot bin korup. Ibunya, sudah lama meninggal karena sakit jiwa, yang entah kenapa tak pernah dijelaskan.
Potret Aliguka juga mendera banyak aktivis pasca mahasiswa atau gegap gempita masa muda. Banyak dari mereka yang capek melawan, lalu menyerah. Bahkan lebih tragis ikut arus yang dulu dilawannya. Lebih ironis lagi, kelelahan sebelum sempat mengerti, siapa yang dilawannya selama ini dan kepada siapa ia menyerah.
Soe Hok Gie, ikon gerakan mahasiswa ’66, pernah mengirimi celana-dalam perempuan pada kawan-kawan seangkatannya yang sibuk “melacur” setelah duduk di DPR. Atau yang masih cukup dekat, aktivis reformasi ’98 yang setelah masa eforia berakhir, paling banter kebagian jadi tim sukses, mendudukkan orang-orang dari rezim lama yang berganti baju. Seakan-akan dunia aktivisme hanya konsumsi muda belia yang belum merasakan kegetiran hidup. Sehingga tercipta siklus: kritis di masa muda, melempem di masa tua.
Ini zaman edan memang, semuanya sudah serba terbalik. Tapi Aliguka menolak ikut sinting, justru dia yang paling waras. Dia memilih cari makan gratis di rumah sakit jiwa, setelah lelah jadi pengangguran terdidik yang tak mampu mencari sebakul nasi. Namun gambaran ini membentuk stereotip lain tentang aktivis sebagai tukang gerundel, yang bahkan tak sanggup mengisi perutnya sendiri. Seolah-olah kemampuan terpenting seorang aktivis adalah menggerutu. Dari gerutuan picisan, hingga yang sedikit sok bermutu, yang dilapisi aneka dalil ilmiah.
Ini juga meneguhkan citra tentang aktivis sebagai kavlingan para cultural-elite semata, dari mahasiswa, dosen, aktivis LSM, seniman, hingga politikus. Topik gerutuannya pun tergantung lahan yang ditekuninya. Aktivis film menggerutu tentang selebritas hantu di dunia perfilman. Aktivis anti-korupsi koar-koar tentang gerakan kasus Bank Century. Aktivis LSM lainnya sibuk dengan tema yang lagi seksi di mata para donor. Dan politikus berasyik-masyuk menutupi kedegilannya dengan berdandan apik agar terlihat elok saat muncul di layar kaca.
Saya jadi teringat sosok Tata Mandong. Sudah puluhan tahun ia tinggal di kaki Gunung Bawakaraeng menjaga kelestarian alam di sana. Ia memelihara beberapa ekor sapi. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia juga tanam sayuran. Kabar terakhir ia sekarang juga memelihara ikan di kolam buatannya. Tata Mandong jelas tak mengklaim diri sebagai aktivis pencinta lingkungan. Ia sudah ‘bergerak’ jauh sebelum penguasa Sulsel gembar-gembor tentang ‘go green’ dan jelas ia lebih ‘hijau’ daripada para kelompok pencinta alam yang kerap menyambanginya. Ia juga tak sesumbar soal kedaulatan pangan. Ia mempraktikkannya.
Atau Hanoch Luhukay, sejarawan dan pelaku sejarah dari Ambon, yang setia menyimpan koleksi koran-koran tua Sulawesi Selatan sejak tahun 1956. Waktu berkunjung ke rumahnya hampir sepuluh tahun lalu, saya takjub pada ketekunannya memelihara dokumen-dokumen bernilai sejarah itu. Sebelum mangkat awal tahun lalu, ia telah mewariskan karya monumentalnya sebagian ke Pusat Arsip Makassar, sebagian lagi ke Pemprov Maluku.
Ada juga Puang Lattu’, aktivis legendaris di kaki Gunung Bulusaraung. Lattu sebetulnya bukan penduduk asli kampung ini, bahkan tak ada yang tahu persis asal-usulnya. Ia datang seorang diri ke Dusun Bulu-Bulu, Desa Tompo Bulu, Kabupaten Pangkep, di awal tahun 1990-an. Di sana ia mulai bertani dengan meminjam lahan tuan rumah yang ditumpanginya. Tapi ia tak disambut antusias, bahkan karena caranya bertani yang tak lazim, ia sering dikira orang gila. Lattu’ memang memiliki keahlian bertani di atas rata-rata, misalnya ia mampu mengukur debit air lalu menentukan apa sumber air itu bisa digunakan untuk mengairi sawah atau tidak. Ia juga dipandang ketinggalan zaman, karena masih menerapkan budidaya padi tanpa pupuk kimia. Padahal saat itu Tompo Bulu sedang demam pupuk kimia dan berbagai bentuk turunan revolusi hijau lainnya.
Disambut dingin, ia pun memutuskan hijrah ke kampung tetangga, Galung-Galung. Di sana, Puang Lattu kembali menerapkan teknik budidaya padi dan kopi ramah lingkungan. Dalam waktu kurang dari tiga tahun, Lattu’ berhasil mengajak petani Galung-Galung menerapkan cara bertani yang diyakininya lebih menjamin kesejahteraan penduduk kampung terpencil ini, dalam jangka panjang. Sekarang Galung-Galung mampu menjadi pemasok beras kampung-kampung sekitarnya, padahal dulu mereka harus beli beras dari Bulu-Bulu. Kini kebun kopi di Galung-Galung terkenal sebagai kebun kopi nomor wahid.
Dan ini bukan dominasi lelaki saja, perempuan pun ada. Sebutlah Syarifah Ampa, perempuan yang mendirikan dan mengelola puluhan sekolah mulai TK hingga SMP, di kampung-kampung di tanah Mandar. Ia juga memimpin kelompok tani dan menjadi patron dari petani di sekitarnya. Ia pernah dua kali terpilih jadi anggota dewan Polman, hingga ia mengundurkan diri karena kapok berurusan dengan politisi tengik. Atau Daeng Nur, pedagang pasar Terong yang menginspirasi kawan-kawannya sesama pedagang kecil menolak penggusuran.
Tata Mandong, Puang Lattu, Luhukay, Syarifah Ampa dan Daeng Nur, adalah orang-orang biasa yang tak dikenal, yang memiliki kegelisahan, lalu bekerja membalikkan kenyataan yang ia hadapi. Mereka adalah aktivis dalam konteksnya masing-masing. Tapi mereka memiliki paling tidak dua hal yang tak dipunyai Aliguka, yang membuatnya menjadi idealis terpental.
Pertama, mereka tak sibuk dengan pikirannya sendiri. Aliguka lebih betah dengan orang-orang dalam kepalanya. Ia banyak mengunyah buku-buku bergizi dari kuartetnya Pramoedya, Shock Doctrine-nya Naomi Klein, hingga Social Animal-nya Aaron. Sayang ia tak mampu mengkomunikasikannya dengan bahasa lebih membumi kepada Daeng Tato, tokoh preman dan tukang parkir, dan warga rumah susun lainnya. Padahal Aliguka punya penjelasan tentang apa dan kenapa ketidakadilan terjadi di rusun itu, dan Daeng Tato punya pengalaman dan taktik mengatasi persoalan yang mereka hadapi.
Padahal saya membayangkan Aliguka hidup berdampingan dengan warga rumah susun, lalu membuat isi kepalanya jadi nyata. Tapi Aliguka tak punya kemampuan menghubungkan antara penjelasan ala buku dengan tantangan nyata yang dihadapi. Ia terjebak menjadi budak huruf yang tak mampu ia maknai bagaimana mengejawantahkannya di dunia nyata. Ia bernasib seperti Don Kisot yang jadi gila gara-gara percaya semua yang ia baca. Alih-alih ia makin depresi melihat keadaan di sana. Aliguka berusaha menahan langit yang hendak runtuh, sendirian. Bahkan Daeng Tato-lah yang mengajarinya cari makan dengan “mengurusi mobil-mobil dan motor-motor” alias tukang parkir, setelah tulisannya berkali-kali ditolak koran, yang lebih suka tulisan ‘ringan’.
Kedua, Aliguka tak punya kemampuan mengolah energi agar lebih bernafas panjang. Ia terbakar amarahnya sendiri. Ia tak mampu membedakan tujuan dengan strategi dan taktik. Jika saja ia mafhum bahwa yang terpenting adalah menjaga bara dalam dada tetap menyala dengan nyala yang pas. Tidak terlalu panas hingga menghanguskan semuanya, tapi juga tak redup hingga nyalanya padam sama sekali. Ini memang perang tanpa akhir melawan kedegilan hidup manusia. Sudah sifat kodrati untuk terus melakukan perbaikan. Dalam bahasa Al-Quran, khalifatun fil ard, aktor transformasi sosial sepanjang masa. Karena manusia memang tak pernah sempurna, sehingga aktivisme harus dilihat sebagai kaul panjang. Tak ada urusan dengan umur. Ini soal alasan bertahan hidup.
Tapi Aliguka ingin melakukannya sekali jadi. Ia ingin menegakkan keadilan sekarang! Padahal ia bahkan tak bisa memahamkan Daeng Tato, dan para tetangganya di rumah susun, ketakadilan macam apa yang sedang menindas mereka. Mereka bahkan tak sadar mereka sedang ditindas oleh kekuatan di luar diri mereka, entah bernama pemerintah, pemilik modal, pemuka agama, LSM, dll. Sehingga Daeng Tato harus mati ditikam oleh sesama begundal kecil.
Kemarahan anti ini, anti itu, hanya membuatnya semakin tak dipahami orang bahkan dihindari. Sehingga ia semakin tenggelam dalam kesepian. Padahal saking lamanya tertindas, orang-orang di rumah susun itu sudah melihat kemiskinan mereka sebagai takdir yang tak mungkin diubah. Aliguka lupa itu.
Mungkin Aliguka bisa belajar dari Patch Adams. Ini judul film dengan nama tokoh utama yang sama yang dibintangi aktor kawakan Robin Williams yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Patch Adams juga seorang visioner yang pikirannya jauh melampaui zamannya. Bedanya kisah Patch Adams justru bermula setelah ia masuk rumah sakit jiwa. Setelah lama bergelut dengan orang gila, ia memutuskan jadi dokter dan menggunakan humor sebagai media pengobatan.
Mungkin kita harus ramai-ramai masuk rumah sakit jiwa mengikuti jejak Aliguka, lalu menemukan jalan membuat dunia mengikuti kegilaan kita, seperti Patch Adams.
Kaukah itu, Aliguka? Masuklah! *
Hasriadi Ary. Guru sukarelawan sekolah rakyat di kaki Gunung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Sejak tahun 2003 mengorganisir pembelajaran kritis Rumah Kaum Muda lewat program pelatihan penelitian lapangan untuk siswa/i SMA. Setelah rehat selama dua tahun untuk kuliah di School for International Training, Vermont, AS, kini ia bergiat di Komunitas Ininnawa.

Sumber : komunitas film.org

Tidak ada komentar: